Jumat, 22 Februari 2013

Seiring kita mendengar bahwa kualitas pendidikan negara kita sangat rendah. Salah satu indikator ketikdakberhasilan ini ditunjukan antara lain dari NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang masih rendah dan tidak memperhatikan adanya kenaikan berarti. Bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif kecil. Sistem pendidikan yang selama ini diterapkan dkatakan belum mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing dipasar bebas. Buktinya, dalam berbagai lomba akademis di tingkat regional dan internasional misalnya, hampir dapat dipastikan siswa-siswi kita sukar untuk berprestasi secara optimal. Secara obyektif diakui “siswa-siswi kita pernah berprestasi di forum Asian Physics Olympiads (Apho) ke-2 di Taiwan. Akan tetapi dalam forum yang luas, kita lebih banyak kalah daripada menangnya.di forum Internasional Mathematic Olympic (IMO) misalnya, delegasi kita belum pernah meraih prestasi memadai. Begitu pula pada forum The Third Internasional Mathematics and Science Study (TIMMS). Dari puluhan ribu siswa usia 13 tahunan (siswa setingkat SLTP) dari 42 negara, prestasi kita menempati rangking 39 dari 42 negara untuk bidang studi matematika. Sedangkan untuk IPA/sains, kita berada pada rangking 40 dari 42 negara. Prestasi siswa-siswi kita masih kalah dengan Singapura, Malaysia dan bahkan satu peringkat di bawah Vietnam. Pokoknya banyak sekali bukti-bukti yang mendukung dan membenarkan penilaian tentang rendahnya mutu pendidikan kita. Berbeda bila kita melihat kenyataan di lapangan, maka akan timbul keraguan terhadap penilaian di atas. Kalau memang mutu pendidikan kita rendah, mengapa tingkat kenaikan di kelas dan kelulusan di sekolah-sekolah kita tetap tinggi. Meskipun prestasi belajar siswa sangat rendah, mengapa akhirnya mereka harus naik kelas. Meskipun NEM siswa dikatan sangat memprihatinkan, mengapa tetap saja diluluskan. Kita semua mafhum bahwa setiap guru mengetahui tentang teori evaluasi dalam proses belajar mengajar. Tetapi dalam prakteknya, semua itu dikesampingkan dalam membuat keputusan kenaikan kelas. Pendekatan acuan norma (norm reference) serta acuan patokan (criterion reference) yang mestinya digunakan ternyata ditabukan karena bila hal itu dipakai, maka akan didapati banyak siswa-siswi kita yang tidak naik kelas dan tidak lulus. Sehinga dengan alasan kemanusiaan, guru dan Kepala Sekolah berusaha menaikan kelas dan meluluskan ujian sebanyak mungkin siswa, tanpa memperhatikan kemampuan nyata yang dimiliki siswa. Nilai prestasi siswa juga banyak yang dipalsu dan dimanipulasi. Rumus “akal-akalan” pun dibuat agar siswa dapat naik kelas dan lulus ujian tanpa hambatan. Dengan metode seperti ini, meski NEM matematika dan fisika tiga, atau nilai SKI dan Bahasa Arab empat siswa dapat dinaikkan atau diluluskan. Semua ini terjadi karena sistem pendidikan di negara kita yang mengkondisikan demikian. Ada aturan yang tersirat bahwa angka kelulusan di sekolah harus mendekati seratus persen. Bila tidak, guru akan dimarahi kepala sekolah karena dinilai tidak mampu mengajar. Selanjutnya kepala sekolah dimarahi pengawas karena tidak dapat memimpin dan pengawas pun dimaarahi pejabat di atasnya karena tidak menjalankan tugas kewenangannya dalam mengawasi, membina dan membimbing, dan begitulah seterusnya. Sebenarnya sistem, metoda dan pendekatan tentang kenaikan kelas dan kelulusan ujian siswa seperti ini bersifat antagonistik dengan usaha meningkatakan kulaitas pendidikan. Di satu sisi, kita menggembar-gemborkan tentang perlunya meningkatkan mutu pendidikan bangsa kita. Akan tetapi langkah-langkah yang kita tempuh secara tidak sadar justru menghambat upaya peningkatan kualiatas tersebut. Semua ini terjadi karena budaya kita yang selalu ingin membahagiakan atasan, sehingga profesionalisme seakan terabaikan. Akibatnya, cara apapun dilakukan demi menjaga nama baik, dan tidak dimarahi atasan. Salah kaprah ini harus segera diakhiri bila kita benar-benar ingin meningkatkan kualitas pendidikan. Kita harus berani mengambil resiko tentang banyaknya anak yang tinggal kelas atau tidak lulus dalam ujian. Padahal resiko ini sebenarnya dapat meningkatkan motivasi siswa untuk berprestasi. Jadi jangan lagi ada istilah “pasti naik kelas” ataupun “pasti lulus ujian”, jika sekolah kita tidak ingin diremehkan dan tidak ingin dianggap “sekolah gampangan”. Kemudian budaya marah-marahi dari atasan terhadap bawahan juga harus segera ditinggalkan. Kita harus sadar bahwa setiap manusia, siapapun orangnya, setinggi apa jabatannya, pasti memiliki kelemahan di samping kemampuan. Jadi, janganlah kesalahan dijadikan kambing hitam atas kegagalan. Dan, jangan pula jabatan dijadikan alat untuk menekan dan ataupun untuk menutupi kelemahan karena ketidakmampuan. Karena pejabat yang arif adalah mereka yang selalu mendengar saran, adil dalam menentukan keputusan dan selalu meningkatkan kemampuan. Sehingga tidak hanya datang dan tanda tangan serta menyerahkan sepenuhnya kepada bawahan. Tetapi datanglah dengan wejangan-wejangan pengetahuan dan pengalaman. Semoga ini bisa dijadikan sebagai dasar renungan, cambuk untuk menggali pengetahuan dan meningkatkan kemampuan bagi kita guru dan karyawan Tata Usaha, Kepala Sekolah, pengawas dan lainnya. Pokoknya semua atasan dan bawahan yang terlibat dalam dunia pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Info: